The Abundance of Choices




Apa yang kau lakukan dengan hidupmu? Apa yang kau inginkan?
Apa kau bahagia?

Semakin dewasa, saya semakin kesulitan menjawab pertanyaan sederhana tersebut. Beberapa tahun belakangan ini, saya merasa tidak tahu apa yang saya cari. Atau apa yang benar-benar membuat saya bahagia. Kadang saya merasa ketakutan dengan keputusan besar yang saya ambil, apakah saya berjalan ke arah yang benar atau tidak. Tentu, ini bukan pilihan seperti manakah perjalanan yang dipilih, berlayar ke samudra Hindia dan kamu bisa singgah di Pulau Paskah, atau berkelana melewati Jalur Sutra supaya kamu bisa membeli karpet Persia. Tapi seringkali, beberapa pilihan terasa sebesar itu.

Jika saya memutuskan untuk menaiki kapal dan menuju Pulau Paskah, tentu akan sulit bagi saya untuk berbalik arah dan menuju Persia. Dan pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya, apa yang menjamin saya lebih bahagia di Pulau Paskah dibandingkan Persia − atau sebaliknya?

Salah satu sifat saya yang saya benci adalah rasa tidak pernah puas. To be fully content. And it result in emptiness and unhappiness. Sahabat saya bertanya apa yang saya inginkan dan saya tidak benar-benar yakin. Saya menjabarkan pilihan saya, kemampuan saya, dan dia berkata dengan wajah prihatin, “Kamu punya terlalu banyak pilihan, Al.” Dia mengatakan hal tersebut seolah saya baru saja divonis memiliki sebuah penyakit kulit mematikan. Saya tidak paham. Dari dulu, saya berpikir bahwa semakin banyak pilihan yang kita punya, semakin bagus. Mampu menguasai banyak hal, mampu menjadi apa saja adalah hal yang saya inginkan sejak kecil. Bayangkan betapa hebatnya Leonardo da Vinci dan apa saja yang bisa ia lakukan.

Kemudian, malam ini, ketika lagi-lagi saya menemukan diri saya di tengah-tengah pengambilan sebuah keputusan penting, saya menemukan sebuah video dari Barry Schwartz tentang The Paradox of Choice, which makes me understand why I still feel unhappy even within all the choice I got.



Barry Schwartz explain how too many choices often leads to disappointment, even regrets. He said, “The more options there are, the easier it is to regret anything at all that is disappointing about the option that you chose."

Saya mengerti apa yang dia maksud. Ketakutan terbesar saya adalah apakah saya akan menyesali keputusan yang saya ambil atau yang tidak saya ambil. Bagaimana bisa kita tahu keputusan mana yang lebih baik untuk kita? We can’t. Bahkan dengan konsep peramalan di ilmu statistika yang saya pelajari pun kita tidak bisa tahu.

Schwartz bercerita tentang pengalamannya membeli sebuah celana jeans dan bagaimana banyak pilihan akan celana jenas berdampak pada Schwartz.

“I choose the best fitting jeans I have ever had, but I felt worse. The reason is, with all these options available, my expectations about how good a pair of jeans should be, went up. I had no particular expectations when it comes in one flavor. When it comes in one hundred flavor, then damn it, one of them should’ve been perfect. What I got was good, but it wasn’t perfect. So I compare what I got to what I expected. Adding options to people's lives can't help but increase the expectations people have about how good those options will be. And what that's going to produce is less satisfaction with results, even when they're good results.


Barry Schwartz elaborated, back in his days, when people got limited choices, they seem to be more happy than people nowadays. Kemajuan teknologi, berdampak pada banyaknya pilihan yang tersedia di pasar, berdampak pada munculnya generasi yang tidak pernah puas. Contoh paling simpel; ponsel. Dulu saya bahagia dengan ponsel Sony Ericsson tua saya yang bisa merekam soundtrack anime favorit saya di tv dalam durasi 10 detik. Sekarang, saya melihat orang-orang di sekitar saya, selalu mengeluh dengan ponsel smartphone mereka yang bahkan belum berumur setahun karena ada model-model baru yang lebih sophisticated. Selalu ada perasaan bahwa kita bisa mendapatkan yang lebih baik dan itu membuat kita tidak pernah merasa cukup.

Yep, Imagine Dragons said it right; No matter what we breed, we still are made of greed.

Saya pikir hal-hal tersebut banyak terjadi di umur 20-something seperti saya ini, karena masa depan orang berumur 20-an masih begitu luas. Masih terlalu banyak mimpi. Dan itu berkurang saat orang berumur 30 atau 40-an. Barangkali, saat orang sudah di umur matang, sudah terlihat mana path yang akan mereka ambil. Ibaratnya, sudah dua negara lagi menuju Persia, akan menjadi perjalanan yang melelahkan jika harus kembali ke Pulau Paskah.

Schwartz memberikan contoh yang menarik dengan ilustrasi ikan di dalam fishbowl. Analogikan saja bahwa kita adalah ikan dan fishbowl tersebut adalah limit pandangan kita akan dunia luar. Ikan tersebut mengatakan pada temannya bahwa; you can be anything you want to be - no limits, yang membuat beberapa audience tertawa. Apa sih yang bisa ikan itu lakukan dalam akuarium sekecil itu? Tapi, hey, bisa jadi ikan itu benar, kan? Mungkin kita berpikir bahwa memecahkan fishbowl membuat ikan tersebut memiliki dunia yang lebih luas daripada sekotak tempat tinggal mereka, tapi realitanya justru membuat ikan tersebut klepek-klepek karena kekurangan air.

"Because the truth of the matter is that if you shatter the fishbowl so that everything is possible, you don't have freedom. You have paralysis. If you shatter this fishbowl so that everything is possible, you decrease satisfaction. You increase paralysis, and you decrease satisfaction."

Benar kata teman saya. Kebebasan itu utopis.

Dan sekarang, saya berusaha membuat fishbowl dalam kehidupan saya – membentuk garis limit. Benar-benar berkebalikan dengan apa yang saya yakini selama ini, that everything is possible. Yep, everything is possible, but you can’t do everything, right? Dulu saya punya mimpi besar. Bahwa saya akan menjadi ‘seseorang’. Saya akan mengubah negara ini. Saya ingin memberikan kotribusi signifikan bagi masyarakat dan sains.

But, here I am, unable to take choice. Zero.

Saya pernah berkeinginan menjadi aktuaris, punya duit banyak, kaya raya, beli perkebunan dan memberdayakan petani setempat. Namun, setelah terjun di dunia aktuaria, I know it is one hell of choices. Saya tahu dosen Akuntansi saya tidak main-main ketika mengatakan, “Jika kalian ingin menjadi aktuaris, kalian harus punya mimpi besar. It took a big effort to get in and it took a bigger effort to get out.”

Saya tidak berada dalam posisi untuk mengeluh, tapi saya merasa mimpi besar itu membunuh saya. Those variety of choices makes me paralysis, unable to move. I’m not 100% being hiperbolic because the truth is my feeling goes numb day by day − and as much as I wish to be in my old days, I know it is not a good sign.

 If I know what the price to pursue those dreams, then hell with being somebody. Hell with changing the world. I just want to be happy.

Dan lagi-lagi, saya ingin mengutip kata-kata Schwartz yang barangkali menjadi guidance saya sejak malam ini.

“Everybody needs a fishbowl. This one is almost certainly too limited - perhaps even for the fish, certainly for us. But the absence of some metaphorical fishbowl is a recipe for misery, and, I suspect, disaster.”

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer