Prelude Terakhir
Hei.
Aku melihatmu lagi.
Kau tampak seperti biasanya; berjalan tanpa semangat dengan mata sayu.
Tidak jauh berbeda saat aku melihatmu di kelas setelah obrolan kita di telepon semalaman.
Kau pasti lelah.
Sudah lama sejak kau mendatangiku dengan wajah mengantuk mengeluh kurang tidur.
Atau aku menutupi ketidakhadiranmu saat kau terlalu lelah untuk masuk kelas.
Sudah lama sejak kau sedikit banyak bergantung padaku dan aku menyukaimu karena itu.
Hidupmu dan aku sudah banyak berubah bukan?
Aku bukan lagi tempatmu berkeluh kesah dan kau bukan lagi pusat semestaku.
Melihatmu sekali dua kali ketika menyusuri jalan menuju kantorku rasanya seperti diingatkan dengan sesuatu yang jauh.
Seperti melihat sekolah lamamu setelah bertahun-tahun tidak melewatinya,
berpikir, "Ah, aku pernah mencintainya," tapi tak lagi membuatku berkubang pada kenangan usang.
Sebentar lagi aku meninggalkan kotamu.
Menutup fase kehidupanku disini dan memulai di tempat baru.
Tak akan lagi kulihat sosokmu, berjalan dengan wajah lelah karena kurang tidur.
Kamu yang semangat, ya?
Kalau saja aku bisa memberimu ribuan ucapan penyemangat seperti dulu.
Kalau saja kalimat penyemangatku masih berarti untukmu.
Hei.
Sudah lima tahun berlalu, prelude ini masih saja tercipta.
Kalau kau tak pernah berarti untukku, lalu apa?
Darimu, aku belajar untuk benar-benar mencintai seseorang dan darimu, aku belajar untuk benar-benar merelakannya.
Kurasa, setelah ini, tak ada lagi campur tangan Tuhan, kebetulan-kebetulan menyenangkan yang terangkai dalam manuskrip khayalku.
Pertemuan-pertemuan kecil yang menyadarkanku seberapa jauh aku melangkah.
Kini, kututup segala kisah tentangmu dalam prelude terakhirku.
Selamat tinggal?
Ini perpisahan.
Jakarta, 28 Juli 2016
Komentar
Posting Komentar