Tentang Perantauan
Jumat, 13 November 2015, selepas
hujan.
Saya tidak menyangka sudah
delapan bulan saya tinggal di Jakarta (benar-benar tinggal, bukan perjalanan
pulang pergi Jakarta-Semarang) dan saya merasa baik-baik saja. Tentu, tidak
selalu baik, tapi yang jelas jauh lebih baik dari kali pertama saya menginjakkan
kaki di kota metropolitan ini.
Jakarta adalah satu dari beberapa
kota perantauan saya. Tidak, tulisan ini tidak akan bercerita panjang lebar
tentang kesan saya mengenai Jakarta, tapi, disini, saya dipertemukan dengan
orang-orang yang membuat saya merasa bersyukur. Sulit bagi saya untuk berteman
dengan orang baru, tapi, nyatanya, saya punya sahabat baru yang membuat kami
berbincang sampai pukul dua pagi (padahal besoknya masuk kantor) dan baru
berakhir setelah kami memasang headset
agar kami berhenti berbicara. Saya juga bertemu seorang teman lama dan kami bersama
teman-temannya (yang juga menjadi teman baru saya) sering menikmati malam dengan
hal-hal yang menyenangkan.
Hal-hal yang menyenangkan disini salah
satunya memesan coffee latte, mendengarkan
live music, dimana orang-orang ikut
menyanyikan lagu dan bertepuk tangan. Dan, di sela-sela lagu, kami berbincang
tentang sains, mimpi, dan kehidupan.
Oh, I’m feeling so alive.
Saya juga bertemu seseorang yang
secara tidak langsung mengajarkan bahwa seorang wanita harus kuat.
Tahun ini memang memberikan
banyak arti pada diri saya. Setelah tahun kemarin yang begitu banyak struggle, air mata, dan hal-hal
depresif, tahun ini saya ditempa untuk tidak menye-menye. Bahwa masalah itu selalu ada, dimana pun kita, tapi
intinya bukan terletak pada masalah itu, melainkan bagaimana kita menghadapinya.
Terdengar klise, mungkin. Saya sendiri kadang beranggapan hal tersebut adalah bullshit. But as Murakami said, pain is inevitable, suffering is optional – and to this day, it is the truest
thing I ever heard.
Yang jelas, melihat perjalanan
saya dua tahun ini, saya ingin mengatakan bahwa saya bangga dengan diri saya. Ketika
semasa kuliah hal-hal yang membuat bangga adalah menjuarai kompetisi atau
memiliki karya, kali ini, saya bangga bisa melalui masa-masa sulit dalam hidup
saya dan masih bisa menikmati hidup.
Tahun depan, saya ingin merantau
lagi. Entah keluar Jakarta, atau keluar Indonesia. Ah, ya, saya masih punya
mimpi untuk S2 di Inggris. Juga mimpi memiliki perkebunan kopi/ teh di Ciwidey,
Bandung atau Wonosobo. Yang jelas, merantau membuat pandangan-pandangan saya
tentang hidup berubah. Saya menjadi lebih mandiri, lebih berani, lebih bisa
bersikap, juga lebih bisa memasrahkan segala sesuatu kepada Allah. Yang terakhir,
itu, adalah hal yang benar-benar saya baru pelajari setelah dua tahun ini.
Omong-omong, saya menulis ini
karena sebentar lagi saya ulang tahun, dan berdasarkan statistik beberapa tahun
terakhir, setiap bulan ulang tahun saya merasa sedih. Karena itu, saya harap,
manakala saya merasa down, saya bisa
membaca tulisan ini dan merenung (Woi, Vita di masa depan, baca!)
Omong-omong lagi, hari ini bapak
saya ulang tahun.
i feel u mbak. pengen jadi anak kecil lagi hufft.
BalasHapus@azka : yep, growing up is suck
BalasHapus