Surat ke Masa Lalu
Halo, kamu, laki-laki yang membuatku jatuh cinta enam tahun silam
Apa kabar? Sudah berapa bulan ya, kita menghirup udara di kota yang sama? Setiap kamu ke kota ini, aku selalu heboh. Selalu ada ruap-ruap bahagia dalam tuberkolusisku. Ah, jadi ingat jaman ujian nasional kelas 3 SMA. Dulu, aku selalu menggunakan istilah biologi atau fisika untuk merapalkan kata-kata cinta. Seperti: “Hatiku akan selalu bersimbiosis dengan hatimu, tak peduli meskipun kau memiliki beribu-ribu lisosom dan aku hanya mempunyai dinding sel”. Nah lo! Haha. Sekarang aku bahkan sudah tidak tahu perbedaan sel hewan dan tumbuhan. Sudah lama sekali ya? Tiga tahun yang lalu…
Dan sudah tiga tahun pula aku tidak bertemu kamu.
Nyatanya kamu masih punya kemampuan untuk membuat hatiku bergeliat aneh saat kamu menyapaku di dunia maya. “Engga papa, pengen nyapa aja”, begitu katamu waktu itu. Kata-kata sederhana yang mungkin tak begitu bermakna apabila diucapkan oleh orang lain, bahkan oleh mereka yang sebenarnya lebih tampan dari kamu.
Tahu tidak, kamu selalu menjadi favoritku. Kamu selalu saja baik, tak pernah berubah. Meski kau sudah hijrah di ibukota, dengan pergaulan yang lebih bebas daripada kota terik ini. Kamu selalu saja memikirkan perasaan orang lain, bahkan orang asing yang tak begitu kamu kenal. Aku misalnya.
Mengenangmu selalu menyenangkan. Bagaimana dulu aku selalu membeku saat kamu di dekatku, atau saat-saat konyol ketika aku dan sahabat terbaikku membuntutimu di lorong-lorong sekolah. Hal-hal bodoh seperti itu.
Tapi banyak hal yang berubah selama tiga tahun ini. Kamu berubah. Lingkungan kita berubah. Hubunganku dengan sahabatku juga berubah. Aku? Aku masih saja menjadi orang brengsek yang sama. Orang brengsek yang selalu merindukanmu.
Dan akhir-akhir ini aku berfikir; mungkin bukan denganmu aku merasa jatuh cinta. Mungkin aku hanya mencintai kenanganmu. Kenangan kita. Atau aku hanya terlalu merindukan sekolah tua itu. Bagaimana, dulu semua hal terasa sederhana. Mungkin kita punya terlalu banyak tugas, ujian matematika mendadak, sekolah sampai petang. Tapi selalu ada hal yang menyenangkan dari sekolah. Duduk mengobrol di sepanjang koridor, bermain UNO, menggeledah loker, tertawa bersama anak-anak ababil itu, melihat orang bermain sepak bola di lapangan belakang. Melihat kamu.
Tahu tidak, doa apa yang selalu aku rapal tiap hari? “Tuhan, aku tidak mau lulus cepat. Bekukan waktu di tempat ini”.
Aku tidak tahu apa ada tempat lain semenyenangkan itu. Tapi waktu punya alurnya sendiri, sayang. Kita harus bergerak mengiringi, meski aku sangat berharap bisa tinggal. Lalu memaksamu dan teman-teman kita untuk menemaniku. Haha, skenario yang hebat kan?
Kemudian kita melangkah, ke berbagai penjuru. Menggapai mimpi, meretorasi idealisme. Membentuk kita menjadi tulang punggung bangsa. Kau ke Jakarta, dengan jurusan yang benar-benar spektakuler. Sedangkan aku tinggal di Semarang, hanya untuk memastikan bahwa aku tetap disini jika kamu kembali.
Dan tiba-tiba kita menjadi hebat. Dari seorang siswa SMA cupu yang suka hidup tenang, ngeblog dan ngegame setiap hari− menjadi seorang organisatoris. Mereview ratusan makalah. Menjadi wakil fakultas dalam Mawapres Universitas. Penerima beasiswa. Peraih cumlaude. Kita, kita yang dulu menghabiskan Selasa sore dengan menggambar selonjoran di ruang kesenian belakang. Atau membeli es campur di Lotus CafĂ©. Atau badak sambel. Atau rolade. Kita, yang sebagai golongan-yang-bikin-turun-rata-rata-sekolah, sekarang melesat tinggi.
Tahu apa kata pepatah? Semakin tinggi pohon, semakin besar anginnya. Banyak hal yang harus dikorbankan. Yang pertama, waktu. Waktu untuk bermain bersama sahabat-sahabatmu. Setelah itu, persahabatan itu sendiri. Kau mulai kehilangan teman- temanmu. Dan tanpa kamu sadari, kamu menjadi seseorang yang anti-sosial. Lingkunganmu tak lagi menerimamu. Dan setelah itu, kamu merasa kesepian. Sebelum akhirnya memutuskan untuk membenamkan diri ke tumpukan deadline tanpa henti itu.
Hey, tahu tidak apa yang paling membuatku kesepian? Ketika kenangan tentangmu tak lagi membuatku bahagia. Saat sapaan itu telah kehilangan makna. Lucu, karena dulu aku selalu bisa menemukan duniaku pada dirimu :’)
Malam ini aku membuka profilmu lagi. Sifat baikmu tak pernah berubah, ya? :) Tapi selain itu, banyak hal yang berubah. Aku terlalu banyak menyakiti perasaan orang lain, sayang− terutama orang-orang yang peduli kepadaku. Mungkin aku tidak mengatakan hal buruk pada mereka, atau memberi harapan palsu kemudian meninggalkannya. Tidak. Ketidakacuhanku yang melukai mereka. Ketidakpedulianku yang mendekati final. Ah, aku selalu saja terpagut dengan kenanganmu. Dengan laki-laki ceria enam tahun yang lalu.
Tahu tidak, mungkin saat ini aku harus mengucapkan selamat tinggal. Haha, maaf, aku menulis sepanjang ini hanya untuk berucap pisah. Aku ingin bahagia, sayang. Barangkali bahagiaku bukan denganmu. Mungkin dengan pria malang yang cukup bernyali untuk mencintaiku. Aku akan belajar untuk mencintai orang lain selain kamu, membuka hatiku, meruntuhkan tembok pertahananku. Entah apakah ada orang yang mampu membuatku tergila-gila seperti aku kepadamu, haha. Tapi layak dicoba kan? :’)
Dan kamu? Kamu selalu menjadi favoritku, sudah kubilang kan tadi? :)
Jaga diri baik-baik ya. Nanti kalau aku terlalu merindukanmu, aku pasti akan menulis untukmu lagi.
Di kota milik kita, 27 Januari 2013 yang larut, menyongsong 28 Januari pagi
Dengan lagu Agnes Baltsa- Aspri Mera Ke Ya Mas yang mengalun ke masa lalu
Penggemarmu Nomor Satu
... Tulisanmu selalu membuatku tersenyum... Bersyukur tidak lupa sama linknya..
BalasHapus@anonim terimakasih, sayang sekali kamu tidak meninggalkan link :)
BalasHapus