Milo [1]


Prolog




‘Markas’ kami berada di lingkungan sepi di pusat pecinan. Sebagian besar rumah tertutup dengan pagar-pagar besi tinggi yang berkarat disana-sini. Satu blok di belakang ‘markas’ kami, terdapat taman luas yang dipenuhi ilalang kering. Sebuah ayunan yang menimbulkan bunyi berdecit saat digunakan terpancang di salah satu sisi taman. Pada sisi taman yang lain, di atas sepetak tanah hitam tanpa rumput, yang menurutku adalah hasil pembakaran ilalang yang disengaja, Milo menghabiskan sebagian besar waktu sorenya. Ia duduk beralaskan sandal bututnya yang alas bagian depannya sudah menganga, seperti mulut buaya yang mencari mangsa. Dia hampir selalu membawa buku catatannya yang penuh dengan selipan kertas-kertas dan menekurinya, seolah buku tersebut mencantumkan jawaban atas terciptanya semesta. Dia baru sadar matahari sudah bergulir ketika surau di seberang taman menyuarakan adzan. Berdirilah dia, menepuk-nepuk celananya yang penuh tanah lantas memakai sandal yang ujungnya sudah menganga, menuju surau.

Kadang aku mengikutinya beribadah meski aku bukan orang yang banyak percaya akan kekuatan doa. Namun, aku suka melihat orang-orang disana melinting lengan baju dan celana mereka, lalu membasahi tubuh mereka dengan air wudhu. Mereka menggelar sajadah di atas karpet surau yang sudah kumal dan bau apak, lantas bersila di atas sajadah mereka. Sebagian dari mereka berkomat-kamit, tapi Milo tidak termasuk orang-orang itu. Ia hanya duduk tenang di atas sajadahnya, memandang ruang kosong di hadapannya, entah memikirkan apa. Kadang, aku ingin menyelami pikirannya, mengetahui sedikit tentang dunianya. 

‘Apa yang kamu pikirkan, Milo? Apa mimpimu?

‘Apa ketakutan terbesarmu?’
***


Jadi,

Saya menemukan satu naskah yang saya tulis setahun silam. Kisah ini, bagi saya... tidak biasa. Bukan cerita cinta yang manis seperti yang saya tulis sebelumnya, malah memang tidak dimaksudkan untuk menjadi cerita cinta. Untuk kisah ini, saya memiliki suatu potongan-potongan di kepala, visualisasi yang menyerupai adegan-adegan dalam film. Nah, disanalah saya mengalami kesulitan. Menulis novel dan naskah film jelas dua hal yang sangat berbeda. Lagipula, Milo ini karakter yang cukup berbeda dari karakter-karakter yang pernah saya tulis. Dia hidup di dunia abu-abu. Saya ingin membuat orang yang membaca tentangnya merasa sebal, marah, tapi juga bersimpati. Bagaimana caranya membuat pembaca membenci karakter yang kamu ciptakan tapi juga bersimpati? Haha. Disinilah keseruan dalam menulis.

Namun, saya tidak tahu apakah saya bisa menyelesaikan kisah ini. So many ideas, so little time. Doakan saja, siapapun yang membaca ini, agar saya segera bisa menyelesaikan cerita ini dengan penceritaan yang sebaik-baiknya.

Regards,
Vita

Komentar

Postingan Populer