Prelude #4




Halo

Ingat tidak, ketika dulu kamu sering meneleponku? Dan ketika aku bertanya apa yang sedang kamu lakukan, hampir setiap waktu, kamu menjawab kamu sedang duduk di teras rumahmu, bermain gitar.
Aku selalu membayangkan seperti apa rumahmu. Apa warna ubin di terasmu? Apakah gelap atau bercorak? Pemandangan apa yang kamu lihat setiap bermain gitar? Rumah tetanggamu ataukah bunga yang ditanam oleh ibumu di halaman?

Ingat tidak ketika dulu kamu bercerita tentang keluargamu? Aku selalu membayangkan bertemu kakak-kakakmu. Apakah mereka secantik di dalam foto? Bagaimana mereka memperlakukanmu sebagai anak bungsu?
Ingat ketika kamu memintaku untuk menelepon ibumu saat beliau berulang tahun, tapi tidak kulakukan karena aku malu? Aku selalu membayangkan bagaimana suara ibumu. Ibu seperti apakah beliau? Apa yang sering kalian bicarakan saat sedang berdua? Bagaimana rasanya berbincang dengannya?

Ingat tidak ketika kamu memainkan gitarmu untukku? Kamu menggumamkan nada di antara petikan-petikan gitarmu, dan aku tertawa kecil, mendengarkanmu memilah-milah lagu yang menurutmu akan aku sukai. Begitu seterusnya sampai kita berdua tertidur dengan ponsel menempel di telinga. Aku selalu ingin tahu seperti apa gitar yang selalu kamu mainkan itu. Apakah sewarna kayu ara atau coklat mengkilap? Apakah terlihat baru atau sudah tua? Polos ataukah penuh stiker disana-sini?

Ingat tidak ketika kamu selalu berkata bahwa aku harus ke kotamu dan kamu akan mengajakku berkeliling kota yang kamu bangga-banggakan itu? Aku selalu membayangkan seperti apa lingkunganmu. Seperti apa teman-temanmu? Seperti apa jalan yang kamu lalui setiap harinya? Seperti apa wangi hujan di kotamu?

Semua bayanganku tentang kisah-kisahmu tampak jelas sekarang. Aku tahu teras rumahmu. Aku tahu tanaman-tanaman yang berjajar di sepanjang pagar rumahmu. Aku tahu pemandangan yang kamu lihat setiap kamu memainkan gitarmu di teras. Aku tahu bata berwarna abu-abu di halaman rumahmu. Aku tahu piring-piring yang kamu pakai untuk makan. Aku tahu gitar berwarna coklat muda yang kamu sandarkan di ujung ruangan.

Aku melihat kakak-kakakmu. Aku menjabat tangan ibumu dan mendengarkan suara halusnya saat kamu mengenalkanku. Mereka cantik.

Aku juga tahu seluk beluk kotamu. Bagaimana tidak? Aku menghabiskan waktu dua jam, tersesat, berputar-putar di tempat yang sama beberapa kali. Aku menyesap wangi hujan di kotamu. Aku mengenali bangunan-bangunan yang pernah kamu ceritakan. Aku bahkan berkenalan dengan teman-teman masa kecilmu.

Setelah tiga tahun, semua kisahmu tampak begitu nyata.

Karena itulah aku tidak paham, mengapa kali ini, semuanya tidak berarti apa-apa. Kukira aku akan senang ketika semua kepingan kisah-kisahmu membentuk puzzle yang utuh. Kukira menyelami duniamu adalah hal yang paling aku inginkan.

Sudah terlalu lama sejak terakhir aku jatuh cinta kepadamu.

Dan ketika kisah-kisahmu menjelma nyata, gadis yang dulu menghabiskan energinya untuk menyukaimu, kini sudah tidak ada.

Komentar

Postingan Populer