Asimptot [1]



Bandara selalu membuatku gugup.
Orang-orang berjalan terburu-buru, seperti dikejar waktu. Koper-koper mereka beradu dengan lantai, berusaha menyeimbangi langkah mereka. Seorang eksekutif muda −kalau dilihat dari jas dan sepatunya yang mentereng− mulai berteriak pada ponselnya.
“Bagaimana bisa kamu salah mengatur jadwalku?! Kubilang aku sudah harus di Shanghai jam 12 malam, bukan jam dua! Kamu ini bodoh atau terbelakang?!”
Aku merogoh tas biru pekatku, mencari inhaler yang selalu kuhirup saat aku gugup. Aku benci bandara. Aku benci kerumunan. Aku benci tempat yang identik dengan perpisahan itu.
Bagiku, bandara tempat yang aneh. Kamu bisa menaiki pesawat, dan saat kembali, kamu menjadi pribadi yang berbeda.
Atau mungkin, kamu tidak pernah kembali.
Aku bergidik ngeri. Mana inhaler sialan itu, batinku, sebelum akhirnya aku menemukannya di saku jaketku. Buru-buru kubuka tutupnya dan kuhirup. Rasa hangat menjalar di saluran pernafasanku.
Sebenarnya bukan cuma bandara yang membuatku gugup. Pagi tadi, Tika mengirimkan sebuah pesan singkat.
‘Ara datang,’ katanya. Aku membaca dua kata tersebut dan seketika, limpaku menggeliat.
‘Kamu yakin?’ balasku, buru-buru. Mataku tak lepas dari layar ponsel, menunggu balasan Tika. Tenang bodoh, rutukku pada diriku sendiri. Pesan baru terkirim dua detik lalu!
Tapi satu menit berlalu dan Tika belum membalas. Aku menggoyang-goyangkan ponselku dengan sebal, seolah dengan aku menggoyang-goyangkan ponselku, sebuah pesan akan masuk.
Entah apakah ada hubungannya atau tidak, ponselku bergetar. Aku membaca balasan dari Tika.
Ya, kata Robith, sih, begitu. Nanti aku kabari lagi saat aku bertemu Ara. Kapan kamu datang? Aku dan yang lain sudah sampai di Kyoto.
Sebuah sumbat seolah dilepas dari tubuhku. Ara datang, ulangku, dalam kepala. Ara datang. Seketika aku merasa lega sekaligus ngeri. Lucu, bagaimana dua buah kata mempunyai kekuatan untuk merubah seseorang.
Terdengar suara kaku seorang wanita dari pengeras suara di langit-langit, mengatakan bahwa pesawat tujuan Osaka, Jepang, akan segera lepas landas. Aku berdiri. Seketika rasa gugupku menjadi-jadi. Buru-buru kuraih koper dengan tangan kananku dan berjalan menuju pintu keberangkatan. Seorang petugas cantik memeriksa tiket dan surat-surat perjalananku, lantas tersenyum ramah. “Pesawat akan terbang selama tujuh jam. Selamat menikmati perjalanan Anda ke Jepang.” Tujuh jam perjalanan, aku memasukkan surat-surat berhargaku ke dalam tas, kemudian menghirup inhaler. Tujuh jam sebelum aku sampai di Kyoto. Sebuah suara lain di dalam kepalaku, yang berusaha kuabaikan, mencicit seperti gadis kecil.
Tujuh jam sebelum aku bertemu Ara.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer