Senja

Orang-orang menyebut perempuan itu Senja.

Darimana asalnya, apa golongan darahnya, atau mengapa ia selalu membawa payung kuning yang ditangkupkan, aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Orang-orang menyingkir saat dia lewat. Mereka takut. Atau tidak peduli. Ada yang bilang ayahnya adalah reternir tamak. Sebagian lagi berkata ayahnya kaki tangan Belanda. “Jauh-jauh dari dia,” kukuping perbincangan Mbah Yanti dengan ketiga cucunya. “Semua keluarganya adalah sampah.”

Perempuan itu− entah bagaimana ia hidup – berteman dengan senja. Setiap pukul lima tiga puluh, ia pergi ke jembatan dekat peternakan kelinci Mang Soleh. Pulang pukul enam kurang lima. Begitu setiap hari. Duapuluhlima menit yang menjadi bukti eksistensinya. Setelah itu, orang-orang desa boleh menghujatnya semau pantat mereka.

Barangkali semua siklus kehidupan ini tak akan berubah jika laki-laki itu tidak datang. Mereka bilang, si laki-laki adalah jelmaan dari kesempurnaan. Tampan, berbadan tegap, tutur katanya sopan. Lebih dari itu, ia mengobarkan harapan bagi penduduk desa. Tentang reformasi− yang dulu sekedar kata tabu bagi mereka.

Orang-orang desa berlomba-lomba menjodohkan anak mereka dengan pemuda kebanggaan itu. Tinggal sebut saja kembang desa yang dia ingin, dia akan mendapatkannya. Seolah-olah semua gadis di desa telah sepakat untuk menambatkan perasaan mereka pada si laki-laki itu.

Dan si perempuan berpayung kuning menjadi salah satunya. Seandainya saja laki-laki itu lebih memilih untuk tidak mengacuhkannya seperti yang dilakukan penduduk desa, bukannya mendekatinya di suatu senja, lantas berbincang tentang cakrawala. Menafsirkan segala guratan mentari dan carikan awan. Kadang diantaranya, laki-laki itu menanyakan mimpi-mimpi si perempuan. Tak perlu waktu lama sampai semesta jadi kepunyaan mereka.

Laki-laki itu suka bercerita, dan perempuan itu suka mendengarkan. Ia berkisah tentang kampung halamannya. Tentang bagaimana Belanda membuat kedua adiknya mati kelaparan. Tentang ibunya yang lantas menjadi gila. Dan setelah kisah-kisah muram itu, ia berbincang tentang angin, hujan, atau halimun. Namun, favorit perempuan itu adalah bagaimana si laki-laki mendeskripsikan mentari yang terpejam di hadapan mereka.

Barangkali siklus kehidupan yang sudah melenceng ini tak akan berubah jika pemuda itu menutup mulutnya tentang rencana-rencana pemberontakan. Jerami-jerami kering disiapkan. Minyak-minyak ter ditumpahkan di ladang. Bambu diasah, api disulut, semangat dikobarkan. Kudapat kabar dari gelatik, banyak yang mati malam itu.

Namun, laki-laki itu bukan salah satunya. Ia kembali keesokan harinya −setelah melewatkan satu dua pesta− ke pelukan perempuan itu. Bercerita menggebu-gebu, bagaimana mereka meluluh-lantahkan benteng Belanda. Juga kisah di balik luka-lukanya yang mengandung kebanggaan: bekas peluru yang menyerempet pundak, jarinya yang melepuh, dan goresan dalam di pipi. Lalu pukul enam kurang lima, laki-laki itu meminta si perempuan untuk menikahinya.

Perempuan itu menyanggupi, walau tak yakin apakah ayahnya merestui. Jadi ia meminta agar laki-laki itu menunggu senja besok, barangkali ia bisa meluluhkan hati ayahnya malam ini. Laki-laki itu mengangguk. “Kutunggu kamu di senja yang sama”, begitu katanya.

Pukul lima tiga puluh besoknya, perempuan itu datang, membawa payung kuning yang ditangkupkan dan segepok uang. Ayahnya mengamuk. Si perempuan memutuskan untuk kawin lari. Tak sabar ia menyampaikan rencana ini. Ia menunggu. Pukul lima empat tujuh. Laki-laki itu belum datang. Pukul enam kurang lima. Laki-laki itu belum datang juga. Pukul sepuluh dua puluh. Laki-laki itu tidak datang.

Perempuan itu tidak tahu, bahwa malam tadi, Belanda kembali. Membakar ladang warga dan rumah para pejuang. Kudapat kabar dari perenjak, banyak yang mati malam itu. Kali ini, laki-laki itu salah satunya.

Perempuan itu− entah bagaimana ia hidup – hanya berteman dengan senja. Datang pukul lima tiga puluh, pulang pukul enam kurang lima. Begitu bertahun-tahun. Dan orang-orang desa tak pernah berhenti mengutukinya diam-diam. Siklus kehidupannya kembali normal, meski sekarang hatinya mati. Darimana asalnya atau apa golongan darahnya, aku tidak tahu. Tapi sekarang aku tahu mengapa ia selalu membawa payung kuning yang ditangkupkan – mengetuk-ngetukkannya di jalan, menjadikannya pedoman.

Ia buta.

Komentar

  1. saya harap kita bisa bersahabat.

    FB Nugroho Dwi Prastiko


    www.sologaya.co.vu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer